Wednesday, March 20, 2013

Teori-teori Belajar

Posted by Unknown Posted on 7:40 PM with No comments


Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek  mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat  dan perasaan individu dalam  belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih siswa sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya.
Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut  sangat berbeda tingkat kesulitannya.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini, bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Munculnya pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke pelajar.
Fungsi pikiran (mind) adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

2. Teori Belajar Pengkondisian

    Teori ini disebut juga learned reflexes atau refleks karena latihan, sebagian ahli juga menyebutnya sebagai teori belajar asosiatif. Teori ini ditemukan di dekade 1890-an, namun baru diterbitkan pada tahun 1927 dalam Conditioned reflexes: An Investigation of the physiological Activity of the Cerebral Cortex.
Ø  Percobaan Pavlov
Percobaan tersebut dilakukan pada seekor anjing, kegiatannya adalah memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah prosedur yang sama dilakukan beberapa kali, ternyata anjing tersebut mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut.
Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian (conditioning Stimulus/CS), dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian (Unconditioning Stimulus/UCS).
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :
a.     Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b.      Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut.
Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. Teori Pengkondisian ini lebih tepat digunakan untuk mahluk hidup yang memiliki perkembangan kognitif belum optimal/pemikiran yang belum kompleks.
3. Teori Belajar Kognitivisme
a. Teori Pemrosesan informasi
Menurut Slavin, teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi  dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama sehingga perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.
Komponen pertama yang dijumpai oleh informasi yang masuk adalah registrasi penginderaan yang menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat. Bila hal itu tidak terjadi, maka informasi yang diterima akan hilang.
Keberadaan register penginderaan mempunyai dua impliksi penting dalam pendidikan:
  1. Orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus Diingat.
  2. Seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk dalam waktu kesadaran.
Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen yang kedua dari system memori, yaitu memori jangka pendek yang menyimpan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Salah satu cara untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu pendek  adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali.
Memori jangka panjang merupakan bagian dari system memori tempat menyimpan informasi untuk periode panjang. Tulving membagi memori jangka panjang menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Memori episodik,  yaitu bagian memori jangka panjang yang menyimpan gambaran dari pengalaman-pengalaman pribadi kita.
2.      Memori semantik, yaitu suatu bagian dari memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan umum.
3.      Memori prosedural, yaitu memori yang menyimpan informasi tentang bagaimana melakukan sesuatu.
       Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah :
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
3. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
4. Menyajikan bahan peransang
5. Memberikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informatife
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar .
Keunggulan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi :
ü  Cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol
ü  Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ü  Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap
ü  Adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai
ü  Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya
ü  Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai irama masing-masing individu
ü  Balikan informatif memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan
b. Teori  Meta kognisi
Kemampuan berpikir yang diperlukan pada era globalisasi adalah terkait kemampuan berpikir tentang proses berpikir yang melibatkan berpikir tingkat tinggi dan dikenal dengan metakognisi. Peningkatan kemampuan metakognitif secara signifikan merupakan efek yang dihasilkan dari pembelajaran, baik pada diri siswa, lembaga maupun masyarakat, karena itu perlu dipertimbangkan strategi pembelajaran yang berpotensi untuk mengungkap kemampuan metakognitif.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diberdayakan dengan memberdayakan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait strategi maupun pelatihan metakognitif dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif karena pada pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi di antara anggota kelompok. Komunikasi di antara anggota kelompok kooperatif terjadi dengan baik karena adanya keterampilan mental, adanya aturan kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Kemampuan metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa sendiri dengan menggunakan strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat berkembang. Mengidentifikasi ide-ide penting dengan menggarisbawahi atau menemukan kata kunci pada bahan bacaan, kemudian merangkai menjadi satu kalimat dan menulis kembali pada jurnal belajar, meramalkan hasil, memutuskan bagaimana menggunakan waktu dan mengulang informasi merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif seseorang dan caranya berpikir tentang bagaimana informasi diproses dikenal sebagai strategi metakognitif (Arends, 1998). Menurut Dirkes (1998) strategi metakognitif dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses berpikir.
 Arends (1997) mengemukakan pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan seseorang tentang pembelajaran diri sendiri atau kemampuan untuk menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan benar. Berdasarkan makna strategi metakognitif dasar dan pengetahuan metakognitif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran metakognitif bagi siswa adalah penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, siswa akan terampil dalam strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif akan lebih cepat menjadi anak mandiri.
Butler & Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992), Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat metakognisi bagi guru dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa. Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi.
Howard (2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a). Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakognitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi.
c. Teori  Sibernetik
Menurut teori sibernetik, belajar merupakan pengolahan informasi. Teori sibernetik lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Hal lain yang berkaitan dengan teori sibernetik adalah tidak ada satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi dan yang cocok untuk semua siswa karena cara belajar ditentukan oleh system informasi. Komponen pemrosesan informasi dipilah berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses terjadinya “lupa”,  yaitu:
  1. Sensori Reseptor (SR): merupakan sel tempat pertama  kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, bertahan dalam waktu sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu.
  2. Working Memory (WM): diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah memiliki kapasitas terbatas (informasi hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik tanpa pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping melakukan pengulangan.
  3. Long Term Memory (LTM): diasumsikan; 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, 3) sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan lupa pada tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diperlukan.
Teori sibernetik sebagai teori belajar dikritik karena lebih menekankan pada system informasi yang akan dipelajari, sedangkan bagaimana proses belajar berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi tersebut. Selain itu teori ini tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal ini menyulitkan penerapannya. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi yang akan dipelajari, pemikir, dan pencipta. Sehingga diasumsikan  manusia mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.

Tuesday, March 19, 2013

MENANAMKAN KESADARAN

Posted by Unknown Posted on 6:25 PM with 1 comment
           Manusia hidup  di dalam suatu tempat yang melingkupinya (lingkungan). Karena itu, manusia akan selalu bersentuhan dengannya. Dan dalam prosesnya  akan terjadi hubungan timbal balik. Jika manusia berbuat baik kepada alam maka alam akan memberikan kebaikan pula kepada manusia dan sebaliknya.
            Gunung muria yang dapat di sebut sebagai paru-paru kota kudus , mempunyai peran penting dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya . yaitu sebagai tempat penyuplai udara yang berkualitas di kota ini dengan hutan yang ada . namun, perlu diketahui  peran penting tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa peran manusia yang ada di sekitarnya.
           Peran apa yang dapat dilakukan manusia? Salah satunya adalah: menanam pohon serta merawatnya . karena menanam tanpa merawat tidak akan membuahkan hasil yang maksimal.
        Namun, yang lebih penting adalah: menanam kesadaran dalam diri untuk tidak merusak lingkungan. Dengan begitu, semakin banyak orang yang sadar dengan pentingnya lingkungan hidupnya tentu akan berdampak besar terhadap terjaganya lingkungan hidup.
         Akan tetapi, untuk menanamkan kesadaran bukanlah hal yang mudah tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan, terutama kepada orang yang sudah terbentuk sikap acuh tak acuh kepada lingkungannya. Untuk itu, dalam menanam kesadaran pentingnya lingkungan bagi kehidupan harus dilakukan sejak dini sehingga hasilnya akan lebih maksimal. 
Karena, dengan menanamkan pemahaman mengenai nilai-nilai yang baik sejak dini akan membuahkan output yang lebih kuat dibandingkan dengan menanamkan pemahaman kepada orang yang sudah dewasa. Hal itu disebabkan ketika seorang anak diberi sebuah pemahaman (fahm) anak dan disampaikan secara terus menerus akan membawanya pada tingkat perilaku yang terstruktur maksudnya yaitu anak akan mengambil pemahaman yang diterimanya sebagai perilaku sehari-hari dan tidak mudah untuk hilang. Berbeda dengan orang yang sudah dewasa ketika ia diberi suatu pemahaman tentang pentingnya lingkungan dalam hal ini sedang orang tersebut sudah terbentuk karakter yang bertentangan dengan pemahaman yang baru diterimanya maka akan terjadi penolakan minimal pengingkaran dari yang disampaikan padanya.
Adapun yang menjadikan orang dewasa sulit menerima pemahaman tentang pentingnya lingkungan hidup (LH) bagi dirinya dan orang lain, hal itu tak lain karena mereka sudah terbentuk karakternya. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada peluang bagi orang dewasa untuk dapat menerima pemahaman tentang pentingnya lingkungan hidup. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh kemampuan orang dalam mencerna suatu informasi yang diterimanya.
Ketika kita analisis lebih jauh, maka kita akan menemukan sebuah perbedaan (difference) antara anak yang mudah menerima informasi dan langsung diserap dengan orang dewasa yang agak sulit menerima informasi yang baru diterimanya.
Dalam teori Tabula rasa kita temukan bahwa manusia ketika baru lahir seperti kertas putih yang kosong, dia akan menerima apa yang dituliskan dan diwarnakan padanya dan ini dapat kita ibaratkan sebagai anak kecil, ketika dia mendapatkan informasi dia akan menerimanya tanpa mengolah terlebih dahulu, dalam kasus ini mengenai penanaman kesadaran pentingnya lingkungan hidup. Sedangkan, pada orang dewasa kasusnya berbeda karena ia sudah mempunyai tulisan dan warna yang sudah diterimanya sehingga ketika informasi tentang pentingnya lingkungan hidup ini adalah perkara yang baru ia dapat ia akan memprosesnya terlebih dahulu. Sehingga menimbulkan dua kemungkinan dia menerima atau dia menolaknya.
Jadi menanamkan kesadaran atau nilai-nilai yang penting itu sebaiknya dilakukan semenjak dini sehingga hasilnya akan lebih baik. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada orang dewasa pun akan berhasil. 

Sponsors : Hangup Circle | Customize Blogger Template | Best Blogger Themes
Copyright © 2013. dunia artikel - All Rights Reserved
Template Design by Razor Madush | Published by New Blog Themes
Powered by Blogger
New Blogger Themes New Blogger Themes