Teori behavioristik
adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang
menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
Teori
behavioristik memandang individu hanya dari sisi jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
siswa sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya.
Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati.
Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut sangat
berbeda tingkat kesulitannya.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini, bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Aplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Munculnya pembelajaran
yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke pelajar.
Fungsi pikiran (mind) adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
2. Teori Belajar Pengkondisian
Teori
ini disebut juga learned reflexes atau refleks karena latihan, sebagian ahli
juga menyebutnya sebagai teori belajar asosiatif. Teori ini ditemukan di dekade
1890-an, namun baru diterbitkan pada tahun 1927 dalam Conditioned reflexes: An Investigation of the physiological Activity
of the Cerebral Cortex.
Ø
Percobaan Pavlov
Percobaan tersebut dilakukan pada seekor
anjing, kegiatannya adalah memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume
air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah prosedur yang sama dilakukan
beberapa kali, ternyata anjing tersebut mengeluarkan air liur sebelum menerima
makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian
peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan
makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur
umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor
anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum
conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara
otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari
anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan
kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut.
Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral
karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur.
Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi
lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut
mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi
lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian
(conditioning Stimulus/CS), dan keluarnya air liur anjing disebut respons
dengan pengkondisian (Unconditioning Stimulus/UCS).
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap
seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of
Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of
Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut.
Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun. Teori
Pengkondisian ini lebih tepat digunakan untuk mahluk hidup yang memiliki
perkembangan kognitif belum optimal/pemikiran yang belum kompleks.
3. Teori Belajar Kognitivisme
a. Teori Pemrosesan
informasi
Menurut
Slavin, teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang
menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari
otak. Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah
informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama sehingga perlu
menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua
informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.
Komponen
pertama yang dijumpai oleh informasi yang masuk adalah registrasi penginderaan
yang menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu
yang sangat singkat. Bila hal itu tidak terjadi, maka informasi yang diterima
akan hilang.
Keberadaan
register penginderaan mempunyai dua impliksi penting dalam pendidikan:
- Orang harus menaruh perhatian pada suatu
informasi bila informasi itu harus Diingat.
- Seseorang memerlukan waktu untuk membawa
semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk dalam waktu
kesadaran.
Informasi
yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen
yang kedua dari system memori, yaitu memori jangka pendek yang menyimpan
informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Salah satu cara
untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu pendek adalah memikirkan
tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali.
Memori
jangka panjang merupakan bagian dari system memori tempat menyimpan informasi
untuk periode panjang. Tulving membagi memori jangka panjang menjadi tiga
bagian yaitu:
1.
Memori episodik, yaitu bagian memori
jangka panjang yang menyimpan gambaran dari pengalaman-pengalaman pribadi
kita.
2.
Memori semantik, yaitu suatu bagian dari memori
jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan umum.
3.
Memori prosedural, yaitu memori yang menyimpan
informasi tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Teori
belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses
internal yang mencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa
pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung
proses-proses internal dalam kegiatan
belajar adalah :
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada
siswa
3. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
4. Menyajikan bahan peransang
5. Memberikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informatife
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar .
Keunggulan strategi pembelajaran yang berpijak
pada teori pemrosesan informasi :
ü Cara berpikir yang berorientasi pada proses
lebih menonjol
ü Penyajian pengetahuan
memenuhi aspek
ü Kapabilitas belajar dapat
disajikan lebih lengkap
ü Adanya keterarahan seluruh
kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai
ü Adanya transfer belajar
pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya
ü Kontrol belajar
memungkinkan belajar sesuai irama masing-masing individu
ü Balikan informatif memberikan rambu-rambu
yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan
dengan unjuk kerja yang diharapkan
b. Teori Meta kognisi
Kemampuan berpikir yang diperlukan pada era globalisasi
adalah terkait kemampuan berpikir tentang proses berpikir yang melibatkan
berpikir tingkat tinggi dan dikenal dengan metakognisi. Peningkatan kemampuan
metakognitif secara signifikan merupakan efek yang dihasilkan dari
pembelajaran, baik pada diri siswa, lembaga maupun masyarakat, karena itu perlu
dipertimbangkan strategi pembelajaran yang berpotensi untuk mengungkap
kemampuan metakognitif.
Kemampuan
berpikir tingkat tinggi dapat diberdayakan dengan memberdayakan keterampilan
metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait strategi maupun pelatihan
metakognitif dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif karena pada
pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi di antara anggota kelompok.
Komunikasi di antara anggota kelompok kooperatif terjadi dengan baik karena
adanya keterampilan mental, adanya aturan kelompok, adanya upaya belajar setiap
anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Kemampuan
metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa sendiri dengan menggunakan
strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat berkembang.
Mengidentifikasi ide-ide penting dengan menggarisbawahi atau menemukan kata
kunci pada bahan bacaan, kemudian merangkai menjadi satu kalimat dan menulis
kembali pada jurnal belajar, meramalkan hasil, memutuskan bagaimana menggunakan
waktu dan mengulang informasi merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif seseorang dan caranya
berpikir tentang bagaimana informasi diproses dikenal sebagai strategi
metakognitif (Arends, 1998). Menurut Dirkes (1998) strategi metakognitif dasar
adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih
strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi
proses berpikir.
Arends (1997) mengemukakan pengetahuan
metakognitif merupakan pengetahuan seseorang tentang pembelajaran diri sendiri
atau kemampuan untuk menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan
benar. Berdasarkan makna strategi metakognitif dasar dan pengetahuan
metakognitif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran metakognitif bagi siswa
adalah penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, siswa akan terampil dalam
strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif akan
lebih cepat menjadi anak mandiri.
Butler
& Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992),
Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan keterampilan belajar
adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat metakognisi bagi guru
dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa.
Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi.
Howard
(2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting
pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian
(attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa
penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab
ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a).
Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis
yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih
aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar
mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin,
2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakognitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi.
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakognitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi.
c. Teori Sibernetik
Menurut teori sibernetik, belajar merupakan
pengolahan informasi. Teori sibernetik lebih mementingkan proses belajar dari pada
hasil belajar. Hal lain yang berkaitan dengan teori sibernetik adalah tidak ada
satu proses belajar yang ideal untuk segala situasi dan yang cocok untuk semua
siswa karena cara belajar ditentukan oleh system informasi. Komponen pemrosesan
informasi dipilah berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi,
serta proses terjadinya “lupa”, yaitu:
- Sensori Reseptor (SR): merupakan sel tempat pertama kali
informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk
aslinya, bertahan dalam waktu sangat singkat, dan informasi tadi mudah
terganggu.
- Working Memory (WM): diasumsikan mampu menangkap informasi yang
diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah memiliki kapasitas
terbatas (informasi hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik tanpa
pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari
stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan
jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping melakukan pengulangan.
- Long Term Memory (LTM): diasumsikan; 1) berisi semua pengetahuan
yang telah dimiliki individu, 2) mempunyai
kapasitas tidak terbatas, 3) sekali informasi disimpan di dalam LTM ia
tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan lupa pada tahapan ini
disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi
yang diperlukan.
Teori sibernetik sebagai teori belajar dikritik
karena lebih menekankan pada system informasi yang akan dipelajari, sedangkan
bagaimana proses belajar berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi
tersebut. Selain itu teori ini tidak membahas proses belajar secara langsung
sehingga hal ini menyulitkan penerapannya. Teori ini memandang manusia sebagai
pengolah informasi yang akan dipelajari, pemikir, dan pencipta. Sehingga
diasumsikan manusia mampu mengolah,
menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.